Rabu, 16 Januari 2019

SMJ dan Kisah Pasukan Berani Nganu


Sejak pukul 19.00 Kedai Kebun Forum sudah mulai ramai. Selain karena waktu itu malam minggu, sebagian lainnya memang datang secara khusus untuk menghadiri undangan terbuka untuk acara yang kami selenggarakan. Dengan persiapan yang cukup mepet, dua bulan untuk mempersiapkan launching buku bukanlah waktu yang ideal untuk mencetak buku dan meluncurkannya. Sebelumnya perlu saya sampaikan bahwa tulisan ini adalah draft yang berusia hampir satu tahun dan mangkrak kala itu karena satu dan lain hal, maka isi dari tulisan di bawah ini sengaja tidak saya edit lagi supaya euforia yang berdebar di dada kami kala itu dapat tetap terasa ketika kalian membacanya. Salam.


Tentang Syak Merah Jambu dan Pasukan Berani Nganu di Balik Launching Buku

Hari ini tepat dua minggu lalu, buku pertama kami yang kami panggil dengan sebutan “anak-anak rindu” resmi dilaunching di Kedai Kebun Forum, Yogyakarta. Kami menagguhkan namanya dalam kearsipan secara resmi dengan nama, “Syak Merah Jambu, Catatan Para Perawat Ingatan”. Setelah melalui beberapa kali pertimbangan dan memutuskan nama inilah yang paling manis untuk anak pertama kami.

Singkat cerita, kami bertujuh yang bermula dari sama-sama punya kegemaran menulis, baru menyadari bahwa kegiatan menulis yang kami lakukan bersama-sama ini telah hampir berusia satu tahun di bulan Desember 2017 lalu. Tepatnya satu tahun di tanggal 28 Februari 2018. Dari situlah mulai muncul “andai-andai”, bagaimana jika kita membukukan tulisan kita selama satu tahun ini? Maka terbakarlah dada saya menerima ide ini. Saya mulai bertanya kesana-kemaari tentang seluk beluk menerbitkan buku. Beruntung di Jogja ini, jumlah orang baik dan baik sekali masih banyak, dan kawan-kawan saya yang luar biasa itu mulai membantu dengan melakukan ini itu untuk terwujudnya Syak Merah Jambu.

Saya tak akan menceritakan detail perjalanan terwujudnya Syak Merah Jambu, karena akan bisa jadi cerpen sendiri jika saya melakukannya. Bukan kenapa-kenapa, tapi terlalu banyak “drama” yang tentu saja khas dengan cerita-cerita yang sering dituliskan NDC. Tak hanya akan membuatmu ingin menangis, tapi juga tertawa, bahkan mengumpat saya nantinya. Walau saya sama sekali tak keberatan kalian melakukannya, tapi kutahan saja tak menceritakannya. Agar kalian bisa belajar menahan rasa ingin tahu kalian, dan belajar bersabar karena bukan tak mungkin kami akan menceritakannya nanti saat ada kesempatan NDC berkumpul lagi dan melakukan pentas pembacaan karya (lagi) di kota-kota lainnya. Tolong aminkan bagian ini, tolong ini tujuan mulia lhoo! (maaf, nyebut merk tegel di sini walau mereka sama sekali tak mensponsori)

Saya akan menceritakan orang-orang luar biasa yang ada di balik buku ini saja. Dan saya akan memulainya dengan Alfin Rizal dan Al Farisi. Alfin adalah seorang muda, penulis buku kumcer Lelaku dan kumpulan puisi Kesengsem. Dialah yang membuat cover buku SMJ. Sedang Farisi, seorang muda asal Sumenep yang sedang menjalani kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pembaca buku yang tekun, yang membuatnya sangat berkompeten untuk membuat layout buku. Mereka berdua sempat tidak tidur selama 2 malam demi melakukan editing SMJ agar bisa segera naik cetak. Saat itu sudah kurang satu minggu dari jadwal launching yang sudah kami tetapkan. Alfin bahkan sempat meminta langsung kepada saya untuk menunda acara launching selama satu minggu ke belakang. Tapi saya memaksa dan terpaksa mengatakan tak bisa, karena kawan-kawan dari luar kota sudah mengambil cuti di tanggal tersebut dan poster KKF yang sudah beredar kemana-mana. Maka “pasukan berani tak mandi” ini meneguhkan tekad dan hanya meminta kami sama-sama tak tidur di malam mereka mengerjakan editing buku, karena anggota NDC ini sangat pantas diberi julukan “komunitas typo garis keras”.

Maka tak tidurlah kami di malam itu. Dengan tetap aktif di group whatsapp untuk menyemangati mereka berdua. Walau saya jadi sangsi saat itu, karena bagaimana mereka bisa bekerja jika terus menerus aktif berbalas pesan WA??? Tapi kami tak kalah cerdik, membagi shift untuk tidur karena kami bertujuh itu lebih meringankan buat kami. Sedangkan Alfin dan Farisi harus menerima ini dengan (mungkin) berat hati, hahaha. Keesokan harinya, pukul 10 pagi mereka masih update foto di group. Wajah-wajah lelah mereka dan posisi Farisi yang sudah mulai berbaring di beranda sebuah tempat ngopi 24 jam di Jogja, bersiap untuk tidur. Sungguh tak tega sebetulnya. Dan saya hanya bisa berkali-kali mengingatkan mereka untuk minum air putih yang banyak, jangan kopi lagi. Saya tak mampu jika harus bertanggungjawab atas kesehatan 2 orang tuna kekasih ini. Tak bisa membayangkan mereka jatuh sakit saat tak ada kekasih yang bisa membuat mereka minimal merasa sedikit lebih baik dengan keberadaannya. Oh maaf, Alfin punya pacar, tapi jauh tinggalnya, jadi ya anggap saja tetap sulit merasakan kasih sayangnya secara riil. [pardon my language]

Siang harinya di tengah kesibukan saya berperan sebagai ibu, saya terus melakukan cross check pada Alfin apakah naskah kami sudah masuk ke percetakan atau belum. Dan alhamdulillah, tepat smenjelang maghrib Alfin mengabari saya bahwa naskah sudah masuk dan akan segera menjalani proses pencetakan. Bentuk terima kasih seperti apa lagi yang harus saya berikan kepada mereka berdua yang luar biasa. Lemah teles yo cah, Gusti Alloh sik mbales.

Sudah hampir satu setengah halaman saya menuliskan kisah ini dan ini baru mencapai sedikit bagian dari yang ingin saya ceritakan. Selanjutnya saya akan menceritakan bagaimana pengorbanan dan drama semua personil NDC untuk persiapan pementasan di launching acara buku kami. NDC yang beranggotakan 6 orang perempuan dan 1 orang laki-laki tulen yang mengaku konsisten mencintai perempuan. Memang kebetulan anak-anak ini hampir semuanya belum punya pengalaman membacakan karya, entah itu puisi, cerpen, prosa atau apapun. Dan saya mau tak mau harus lebih giat meracuni mereka agar yakin bahwa mereka mampu melakukannya. Toh yang akan mereka bacakan adalah karya-karya mereka sendiri. Yang semestinya mereka tahu betul “feel” dari tulisan tersebut karenanya. Jadi tak akan banyak menemui kendala dalam membacakannya kepada khalayak.

Singkat cerita, saya meminta romo Nasarius Sudaryono yang seorang penggiat pertunjukan dan sudah sering melakukan reading bersama saya dalam beberapa produksi film indie sebelum ini, untuk membimbing teman-teman NDC belajar membaca. Saya buatkan satu group wa lagi yang khusus untuk kami dan Romo melakukan komunikasi jarak jauh, karena hingga tulisan ini diturunkan hal ini masih belum memungkinkan untuk dilakukan melalui telepati. Saya meminta kawan-kawan untuk mengrimkan voice note latihan pembacaan mereka di sini. Dan itulah luar biasanya Romo, yang walau (mungkin) sakit telinga mendengar cara kami membaca tapi tetap memberikan masukan berupa sanjungan yang membuat kami semakin pede dan terus memperbaiki bacaan kami.

Hingga tanggal 9 Maret 2018, kawan-kawan dari luar kota seperti Kediri, Semarang, Sidoarjo, Malang dan Jakarta mulai berdatangan. Mereka saya paksa untuk tak usah mencari kamar hotel dan tidur di rumah saya. Sebelumnya saya sudah meminta izin ke mereka karena di tanggal 9 ada pekerjaan, jadi saya serahkan kunci rumah pada mereka agar mereka bisa memaksimalkan latihan di rumah saya bersama Romo selama saya bekerja. Selesai kerja saya langsung pulang karena tak enak sudah memohon-mohon pada Romo untuk menunggu saya sebentar agar saya bisa melakukan latihan secara riil seperti yang lain. Jam 11 malam saya sampai rumah, dan dengan sisa-sisa tenaga yang masih saya punya, saya membacakan karya yang akan saya bacakan keesokan harinya, satu kali saja. Dikoreksi di beberapa bagian oleh Romo dan baru bisa mengobrol enak dengan semuanya setelahnya.

Sepeninggalan Romo, kami tak juga berangkat tidur walau lelah menumpuk sejak pagi belum rebah. Perempuan-perempuan luar biasa tamu saya ini masih saja “iyik” dengan pertimbangan “BESOK PAKAI BAJU APA???” yasalam. Akhirnya dikeluarkannya semua baju yang rencananya mereka kenakan di acara besok. Walau akhirnya hampir semua yang mereka bawa tak terpakai dan saya memberikan alternatif lainnya untuk mereka. Dan mereka bahagia. Lalu kami pergi tidur saat adzan subuh hampir berkumandang. (bagian terakhir ini sungguh salah, mohon jangan ditiru ya teman-teman)

Sabtu pagi pukul 7.30 (hampir) semuanya sudah bangun. Saya segera bersiap pergi karena harus melaksanakan tugas sebagai ibu dulu pada anak saya yang kebetulan hari itu ada GR untuk lomba drumband. Saya pasrahkan semua persiapan di lokasi pementasan pada 6 orang anggota NDC yang lain dan baru bisa bergabung lagi dengan mereka sore harinya. Entah tuan rumah macam apa saya ini. Tapi alhamdulillah mereka adalah kawan-kawan yang luar biasa dan hanya dengan komunikasi dengan hp saja mereka bisa menyelesaikan semuanya.

Sabtu, 10 Maret 2018 pukul 16.25

Setelah berjuang menembus kemacetan Jogja di Sabtu sore, saya berhasil sampai di KKF dengan sedikit lelah dan banyak ngos-ngosan. Tak enak rasanya pada kawan-kawan saya karena jam segitu saya baru bisa berkumpul lagi dengan mereka. Kami mulai makeup bersama-sama dan saling membantu satu sama lain. Mereka yang ribut dengan pemakaian bulu mata palsu sungguh menjadi hiburan bagi saya yang sedikit kelelahan. Sambil makeup saya menyempatkan mengobrol dengan Mia (MC cantik untuk acara kami) untuk membahas rundown acara secara lebih detail. Memberikan alternatif kata-kata yang bisa dia pakai untuk membuka dan menjelaskan tentang semuanya pada hadirin malam nanti.

Sabtu, 10 Maret 2018 pukul 18.00

Dari tujuh orang personil NDC cuma saya yang memutuskan untuk tidak mandi sebelum acara sore itu. Mohon maaf sebelumnya, karena saya tak menyiapkan peralatan mandi yang biasa saya gunakan. Dan ini hal remeh yang sungguh sulit untuk saya lakukan. Masing-masing dari kami mulai disibukkan dengan persiapan acara. Beberapa tamu yang merupakan kawan dekat kami mulai berdatangan. Sepertinya memang sengaja datang lebih awal agar bisa mengobrol dulu barang sebentar sebelum acara dimulai.

Saya mengobrol dengan mas Doni yang saya minta mengiringi pembacaan saya dengan permainan biolanya. Karena kesibukannya yang luar biasa dan kesibukan saya yang biasa-biasa saja tapi sering agak tak kira-kira maka kami baru sempat membahas ini beberapa jam sebelum acara. Sungguh jangan ditiru jika orang yang kalian pasrahi tak benar-benar seorang profesional dalam hal ini. Dan mas Doni ini adalah salah satu orang yang saya jelaskan lima menit saja sudah bisa mengaplikasikan apa yang saya minta. Terima kasih saya tak terhingga untuknya.

Sabtu, 10 Maret 2018 pukul 19.50

10 menit sebelum acara dimulai saya mengumpulkan semua teman-teman NDC dan pengisi acara. Saya memberikan beberapa kata penyemangat untuk mereka yang sebenarnya sudah sangat siap dengan materi yang akan mereka tampilkan. Karena Romo Nasar sempat mengabari tidak bisa hadir di acara kam,i membuat kami sungguh bersedih, tapi kami tetap harus melakukan yang terbaik untuk ini. Saya memimpin doa bersama dan melakukan “toss” bersama sebagai penutup. Betapa bahagia saya melihat kobaran api semangat di mata mereka. Dan entah kenapa saya yakin acara akan berjalan sesuai dengan yang sudah kami rencanakan.

Tepat pukul 20.00 mba Susi membuka acara dengan pembacaan puisi pendek miliknya sambil berjalan tenang dari belakang ke arah depan penonton. Koordinasi lampu dari gelap menuju terang membuat opening acara jadi cukup dramatis dengan puisi yang dibacakan oleh mba Susi. Penonton yang tenang sekali sejak awal pun bertepuk tangan tepat saat mba Susi selesai membacakan puisi dan disambut oleh MC cantik kami Mia dengan openingnya.

Ada yang bergetar di dada saya sejak tepuk tangan pertama. Mempertegas keyakinan akan acara yang akan berjalan lancar hingga akhir nanti. Acara dilanjutkan dengan bedah buku yang diisi oleh Alfin Rizal dan Bernado Bjeben. Semua berlangsung lancar, beberapa gangguan yang terjadi seperti mic yang tak nyala pun jadi tak berarti melihat performa kawan-kawan dengan bacaannya yang luar biasa.

Lalu tiba-tiba ada seorang tamu yang datang di sekitar pukul 21.45. Romo Nasar reading coach yang kami sayangi datang! Ini bahagia yang sempurna bagi kami bertujuh. Beliau memilih duduk di bagian belakang sambil menikmati pertunjukan yang masih berlangsung, Dan karena saya mendapat giliran terakhir membaca saya menemani Romo duduk di belakang penonton. Saya yang tak sempat mengikuti proses latihan teman-teman dengan Romo mendapatkan banyak kejutan dari pembacaan malam itu. Saya ceritakan ke Romo betapa saya ternganga menyaksikan cara mba Geriel membaca. Terpana dengan  logat anak-anak yang dimiliki mba Sitra tapi tak mengurangi keindahan bacaannya. Termangu dengan bacaan mba Gusti Hasta. Tertohok dengan bacaan mba Susi. Dan terdiam dalam senyum dengan bacaan mba Irza. Semuanya luar biasa dan Romo senang sekali mendengarnya.

Hingga tibalah giliran saya membaca. Saya membacakan tulisan saya di buku SMJ bab Selingkuh: The Universe Conspires Against Me. Sejak pertama memutuskan akan membaca tulisan itu hingga waktu pentas saya hanya berlatih sebanyak 2 kali. Itu pun yang pertama tidak sampai selesai. Bukan karena malas atau tak ada waktu, tapi sebanyak 2 kali itu pula saya tak mampu menahan air mata yang hampir jatuh di tengah pembacaan. Itu saja.

Benar saja, saat pementasan yang saya harapkan sejak awal hanyalah saya bisa mampu menyelesaikan The Universe Conspires Against Me hingga sampai selesai. Entah kenapa TUCA begitu menguras rasa ketika dibacakan, terutama bagi saya sendiri yang menuliskannya. Ah, tapi mungkin memang dasar saya saja yang terlalu cengeng sehingga begitu mudah menitikkan air mata hanya karena membaca. Anggap saja begitu, karena kalau mau dibilang dalam, tulisan saya ini tak ada apa-apanya jika dibandingkan tulisan teman-teman Dasters lainnya.

Akhirnya setelah setengah mati menahan air mata yang menumpuk di pelupuk mata, saya berhasil menyelesaikan membaca TUCA sampai tuntas. Sedikit terisak dan berhenti di beberapa bagian pembacaan saya rasa tak begitu masalah tapi justru menjadi “jeda” manis dalam pembacaan itu sendiri. mungkin lain waktu saya akan menuliskan tentang bagaimana dan mengapa “jeda” itu perlu dalam sebuah pembacaan karya. Doakan saja saya mampu menuliskannya. Bukan untuk mengajari tapi lebih untuk berbagi bagi kawan-kawan yang memang menyukai membaca karya baik cerpen maupun puisi.

Dengan selesainya pembacan dari saya maka selesai pula lah rangkaian acara peluncuran buku Syak Merah Jambu. Endro Gusmoro yang jadi satu-satunya anggota NDC laki-laki tidak ikut membaca karena merasa belum siap dan berjanji akan ikut membaca di lain waktu. Dia sudah menepati janjinya di acara Malam Minggu Merah Jambu, Menyeduh Cinta Tanpa Gula yang kami selenggarakan di Kediri 24 November 2018 lalu.

Terima kasih tak terhingga kami ucapkan kepada banyak pihak yang telah membantu terselenggaranya peluncuran buku SMJ. Alfin Rizal, Bernado J Sujibto, Al Farisi, room Nasarius Sudaryono, Yopie Kurniawan, Kedai Kebun Forum dan masih banyak lagi yang tak dapat kami sebutkan satu persatu. Masih banyak kekurangan dalam buku SMJ. Kami mohon doanya awal 2019 ini akan lahir adik kandung dari SMJ, semoga semua proses kelahirannya dilancarkan dan kami dimampukan berbagi banyak hal yang tak kalah mendebarkan dalam buku kedua nanti.

Sabtu, 08 Juli 2017

Pergi Pergilah, Berbahagialah

kau tahu,
apa yang lebih baik dari sekedar cantik?
hati yang baik dan pikiran terpelajar yang sulit ditampik keberadaannya,
katamu

kau tahu,
apa yang lebih manis dari memiliki kenangan manis?
gambar-gambar indah yang terbingkai rapi di hampir setiap sudut ruang memori,
kataku

kau tahu,
apa yang lebih indah dari persahabatan?
berbagi sedih dan bahagia tanpa mengenal kata tak bisa,
lanjutmu

kau tahu,
apa yang lebih menyedihkan dari sebuah kehilangan?
melepas sahabat terkasih tanpa kata sampai jumpa sambil menggenggam tangannya,
aku mengakhirinya

aku tahu,
kau di sana
tersenyum bahagia seiring lepasnya sakit yang mendera

pergi pergilah,
berbahagialah di nirwana penuh warna
yang tak kau temukan di kamera terbaik pun di dunia

milikmu yang ada di sana
tujuan akhir yang tak mengenal jam tutup dan buka



* ditulis untuk sahabat terkasih #KristupaSaragih #inlovingmemory



jogja, July 8th 2017


love, vie         

Selasa, 09 Mei 2017

Selepas Maghrib di Ruang Tamu Ibu

Suatu hari, pernah kami berbincang. Selepas maghrib di ruang tamu rumah ibuku. Dia sedang berkunjung ke Jogja waktu itu. Obrolan ringan awalnya. Bertanya kabar keluarga dan kawan-kawan lama. Hingga sampailah pada pembicaraan dengan pertanyaan dan pernyataan berat darinya. Di titik ini, bagai menonton film Milan Kundera di bioskop, jangan sekali kali lengah atau pergi ke kamar mandi hanya untuk buang air kecil sekalipun. Kau akan kehilangan arah cerita jika tak menyimak dengan seksama.

“Kau tahu, Vik? Aku selalu memelihara masa lalu. Segala hal yang kulalui dan kulakukan, kuingat dan kupelihara dengan baik. Bahkan perempuan-perempuan yang pernah menjadi kekasih atau sekedar “teman dekat” saja, semuanya kujaga dengan baik di ingatan dan kehidupanku ke depan. Aku menyimpan mereka semua. Mereka yang pernah begitu berharga. Mereka yang pernah bersamaku membagi senyum dan banyak hal lainnya.”

Aku menyimak saja. Waktu ini miliknya. Kuserahkan segenap perhatian dan dua telingaku padanya.

“Banyak hal berubah dari waktu ke waktu. Banyak kawan datang dan pergi seiring sibuk yang mau tak mau harus dijalani. Semakin kemari semakin terasa, mana yang memang berarti dan tak pernah pergi; dan mana yang ternyata memang sangat dangkal keberadaannya. Di titikku ini, kaulah satu-satunya hal yang tak pernah pergi. Selain ibu dan adikku tentu. Kita tak pernah bercekcok untuk sesuatu yang berarti. Dan entah kenapa aku memang sangat jarang bisa menang jika berargumen denganmu.” Dia berhenti bicara dan menghisap dalam-dalam rokok kreteknya. Memandangku sebentar yang tahu dia belum selesai bicara. Menjentik-jentikkan rokoknya di atas asbak, seperti memberiku waktu untuk bersiap menerima kata-kata selanjutnya.

Dan tiba-tiba dia bertanya, “Apa yang membuatmu memutuskan untuk menikah?”

Deg! Jantungku berhenti sepersekian detik mendengar pertanyaannya. Tiba-tiba saja banyak pertanyaan berkecamuk di kepalaku. Apakah aku mencintainya? Sungguh-sungguh mencintainya? Apakah aku siap dengan segala tetek bengek pernikahan yang sudah pasti tak selamanya mudah dan indah? Apakah aku siap berkomitmen hanya dengan satu orang saja yang selanjutnya akan kusebut suami selama sisa hidupku? Apa aku siap merelakan banyak waktuku untuk sebuah hal yang disebut berumah tangga?

Aku terhenyak ke sandaran kursiku. Pikiranku tak lagi ada di ruang tamu ibu. Dan dia kembali bertanya, “Apa yang kau cari dari sebuah pernikahan, Vik?”, tanpa merubah posisi duduknya. Pertanyaannya memang terdengar sinis, tapi memang begitulah dia. Selalu mengejutkanku dengan pertanyaan-pertanyaan sulit yang hampir tak pernah terlintas di kepalaku. Di umurku yang dua puluh empat tahun waktu itu. Pertanyaan pertamanya sudah cukup menyulitkan pikiranku. Dan ditambahinya dengan pertanyaan kedua yang aku tak pernah siap dengan jawabannya. Tapi aku sangat mengenalnya. Sebuah pertanyaan harus diselesaikan dengan jawaban baginya. Seperti itulah dia menempaku selama ini. Dan sungguh, dia selalu bisa membaca segala ragu dari raut dan jawabanku. Dia tahu aku tak siap dan hanya diam menanti gerakan di bibirku.

“Shit!”, umpatku akhirnya. “Kenapa pertanyaan semacam ini tak pernah terlintas di pikiranku?!” Aku memberinya kepastian akan ketidaksiapanku. “Tapi ini kau yang bertanya; dan aku pantang tak bisa menjawab pertanyaanmu!”, kataku kesal. Aku diam sejenak menyiapkan jawaban.

“Ok, pertama, karena aku adalah anak pertama dan aku seorang perempuan. Kurasa, di titikku saat ini, aku sudah cukup mampu untuk mengambil komitmen ini.” Dia masih diam, menyimak sambil terus menjentikkan jarinya. Tak memandangku, memandangi rokoknya.

“Kedua. Kami telah menyepakati hal-hal yang memang perlu untuk kami sepakati lebih dulu. Sebelum melangkah maju. Dia paham akan posisiku di rumah orang tuaku dan dia pun tak berkeberatan aku tetap bekerja nantinya. Pekerjaan yang memang aku suka. Dia tahu hal-hal apa yang membuatku bahagia. Dan dia mau aku tetap melakukannya.” Dia masih tak bersuara, dan menghembuskan asap rokoknya ke samping, tampak sedikit kesal.

“Ketiga. Aku ingin segera mempunyai anak dan sudah tak berencana hamil lagi saat usiaku menginjak kepala tiga. Itu saja”, kataku mengakhiri jawaban.

Dia menghisap rokoknya dalam. Masih belum mau memandangku. Aku tahu jawabanku tak memuaskannya. Dan aku benci akan hal itu.

“Vik, jika tujuanmu hanya ingin punya anak, kau bisa mendapatkannya dari mana saja. Kapan saja. Tak perlu menikah.” Sekarang dia mulai melihatku. “Tapi jika tujuanmu itu untuk punya masalah. Maka menikahlah.” Katanya datar namun penuh kemenangan.
Aku kehabisan kata-kata. Tak tahu lagi harus membawa obrolan ini ke arah mana. Aku kalah seada-adanya. Walau ini jelas bukan soal menang atau kalah. Tapi aku tak suka berada di posisi yang membuatku tampak lemah di hadapannya. Bodoh sekali rasanya. Dan seorang perempuan diharamkan untuk bodoh sejak dari tampaknya. Ibu Kartini dan Simone de Beauvoir pasti tak tenang di alam kuburnya.

Aku mengambil sebatang rokoknya. Dan dia dengan tenang menyalakan koreknya untukku. Kuhisap dalam kretek itu. Kuhembuskan gelisah-gelisah yang memenuhi dada lewat asapnya. Aku terdiam memikirkan perkataannya. Mataku menatap kosong ke ujung mejanya. Apa yang salah dengan keputusanku? Di mana salahnya menikah, pikirku. Aku tahu dia sengaja diam dan membiarkanku berpikir. Tak juga berusaha membuatku merasa nyaman dengan apa yang kupikirkan. Ini bukan jahat. Tapi dialah guruku untuk sebagian besar kenyataan hidup yang tak selalu manis. Dialah pandai besi berstatus Sarjana Hukum yang membentuk sebagian besar pola pikirku dalam hati dan kepala. Dia kakakku satu-satunya. Yang tinggal sangat jauh; namun tak pernah terlalu jauh untuk sekedar datang dan memelukku sebentar saat aku sangat membutuhkannya.

“Kau mencintainya, Vik?”, katanya akhirnya. Pertanyaan ketiga yang sudah bisa kuduga setelah pertanyaan keduanya.

Aku menghela napas. Berat. Aku telah menduganya, namun tak juga tahu harus menjawab bagaimana. “Apakah dalam sebuah pernikahan harus selalu ada cinta?”. Aku menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan. “Apa tak bisa; atau tak boleh, jika menikah saja dulu baru membentuk cinta sesudahnya?”

Dia tersenyum yang nyaris tak tampak seperti senyum. Lebih mirip seringai bagiku saat itu. Menghembuskan asap rokoknya dan berkata, “Sayang, aku lebih banyak berada di dekatmu dari pada waktunya denganmu. Dan bertaruh dengan semua hartaku pun aku berani untuk mengatakan aku mengenalmu dengan lebih baik dari pada laki-laki mana pun di dunia ini yang mengaku mencintaimu. Selain Bapakmu tentunya.”

Aku masih diam, tak memandangnya. Memain-mainkan rokok di jariku. Dia melanjutkan, “Kau yakin dia mencintaimu?” Dia memberi jeda. “Paling tidak, kau tahu dia mencintaimu jika kau tidak; atau belum yakin kau cinta padanya. Itu saja buatku.” Kudiamkan dia, tak mau menjawab atau mengomentari pertanyaannya. Aku tahu sayangnya padaku melebihi apa pun. Bahkan melebihi sayangnya pada adik kandungnya. Aku tahu, semua pertanyaan dan pernyataannya ini ditujukan semata-mata untuk kebaikanku. Tapi aku sungguh tak punya jawaban pasti untuk semua ini. Aku memilih untuk diam dan menolak memberikan jawaban untuk sesuatu yang memang tak pasti.

“Kak, aku mau menikah. Hanya beberapa bulan dari sekarang. Dan kau sungguh tega membuka mata dan telingaku yang sengaja kututup rapat-rapat dengan pertanyaan-pertanyaanmu itu.” Aku berhenti sejenak, dia mendengarkan, kali ini sambil memandangku, tanpa aku memandangnya. “Aku sudah memutuskan hal ini. Dan betapa tak mungkin aku membatalkan semuanya di saat-saat ini. Aku tahu ke mana arahmu. Aku hanya berharap kau akan tetap ada untukku nantinya. Sekedar memberi peluk dan meminjamkan telingamu untukku disaat aku sungguh membutuhkanmu di depan sana. Bersedia kah kau melakukannya?”

Dia mematikan rokoknya. Meraih tanganku dan berkata, “Vik, kau tahu sayangku padamu seperti apa. Tak cukup kah itu untuk dijadikan alasan agar kau juga menyayangi dirimu sendiri?” Aku menunduk semakin dalam. “Dengar kesayanganku. Apa pun yang terjadi padamu di sana nanti. Saat kau menemui masa-masa sulit dengannya. Bahkan saat kau bertengkar hebat entah karena apa. Aku akan selalu ada untuk membelamu sebisa-bisaku.” Dia berhenti sejenak hanya untuk mendekatkan posisi duduknya padaku. “Apa pun masalahmu. Aku tak peduli kalau pun kau yang salah di sana. Aku akan berdiri paling depan untuk membelamu. Kau tahu kenapa? Aku tak pernah benar-benar mengenal laki-lakimu, dan aku sungguh tak rela kalau sampai kau tersakiti oleh perbuatannya. Aku tak peduli padanya. Tapi kau; kita disatukan oleh darah, Vik. Apa pun yang menyakitimu akan menyakitiku. Pahamlah dulu akan hal itu sebelum kau mengatakan aku jahat karena kau anggap tak mendukungmu.”

Dia beringsut ke sebelahku. Menarikku yang kehabisan kata-kata dan hanya bisa menunduk ke pelukannya. Mata kiriku meluap, airnya tak tertampung dan menetes jatuh di atas tangannya yang menggenggam tanganku. Aku bahkan kesulitan mengenali perasaanku sendiri. Dialah laki-laki paling tulus setelah Bapak yang mencintaiku tanpa mengharapkan apa pun. Dia tak pernah menyalahkan, tapi selalu mengarahkan. Karena menyalahkan hanya akan membuat jalan buntu, tak akan memberi penyelesaian.

Coba tunjukkan padaku, bagian mana dari semua yang dia katakan itu salah?

Dia lah kakak; saudara; kawan; bahkan juga kekasih buatku. Dia yang selalu direpotkan dengan penjelasan-penjelasan pada kekasih-kekasihnya yang cemburu pada perlakuannya padaku. Dia yang menyimpan hampir seluruh rahasiaku dan menjadikannya bagian dari dirinya. Dia yang rela kujadikan alasan pada kekasihku di waktu-waktu dulu. Dia yang pasrah saja dan mengatakan, “Gunakan aku sebrengsek-brengsekmu, Vik. Selagi kau bisa.” Cinta macam apa ini kau menyebutnya? Hanya padanya aku mampu membagi cerita tanpa perlu khawatir akan penilaiannya padaku.

Seno Merah, begitu dia menjuluki dirinya sendiri. Dengan rentetan cerita panjang dari dunia wayang tentang 2 tokoh Seno, dia katakan padaku, dialah Seno Merah. Tak ada yang perlu kuragukan padanya. Tak ada yang perlu kukhawatirkan saat aku bersamanya. Tak ada yang tak cemburu padaku melihat perlakuannya.

Kemudian dia berkata, “Sayangku, seorang teman bilang padaku; aku hanya memiliki tiga hal yang menjadikan aku penting bagi mereka; setia kawan, setia kawan dan setia kawan. Padamu aku hanya memiliki satu hal saja untuk menjadikanmu penting dalam hidupku; aku menyayangimu sampai tulang sumsum.” Dia meletakkan kepalaku di bahunya, “Aku berharap banyak padamu. Pada ketabahan, kesabaran, kesetiaan, loyalitas dan itegritas yang aku sendiri tak bisa ungkapkan. Aku butuh kamu untuk berlari bersamaku. Di tengah hujan yang kadang tak berisi air, tapi panah dan peluru tanpa ada tempat berlindung dan upaya selain menerimanya dengan gagah. Karena aku tak percaya takdir. Takdir adalah milik mereka yang memang dilahirkan beruntung atau mereka yang menyerah sebelum bertahan. Kita tidak dilahirkan untuk menjadi seorang yang sudah ditentukan. Satu-satunya nasib yang tak mungkin kita elakkan hanyalah kematian. Sisanya bukanlah takdir. Tapi sebuah sebab akibat yang saling bertautan. Tuhan memberi kita hidup, menunjukkan banyak hal untuk kita melewati dalam hidup, tapi menyerahkannya pada kita untuk menentukannya. Kita yang memilihnya. Menyia-nyiakannya atau memanfaatkannya sebaik mungkin. Aku butuh mencintai kamu dengan karaktermu yang kuat. Karakter yang hanya kamu yang punya. Karakter yang tak akan bisa dicuri orang, tak pudar oleh waktu, justru semakin baik. Buat aku semakin mencintai itu. Berjanjilah padaku tak ada yang akan membuatmu menyerah pada nasib walaupun dunia berkonspirasi melawanmu.”

Aku tersenyum mendengarnya berpanjang lebar. “Kak, aku tak kemana-mana. Aku hanya menikah. Dan kurasa aku tak akan mati semudah itu. Jika kau cemburu dan takut kehilangan aku dengan keputusanku ini, maka buanglah jauh-jauh pikiran itu. Aku paham dengan kekhawatiranmu. Tapi aku tak akan kenapa-kenapa, kurasa kau tahu sekuat apa kau telah menempaku. Aku tak akan kemana-mana, aku akan tetap ada untukmu kapan pun kau membutuhkanku. Walau mungkin aku akan butuh sedikit kelonggaran waktu agar kau mau menunggu. Nantinya, saat tiba waktumu pada keputusan yang ada padaku saat ini, aku tahu itulah yang terbaik buatmu. Bahwa dialah perempuan yang akan merasa beruntung selama sisa akhir hayatnya karena telah menemukanmu. Dan kumohon, berikan aku kekuatan itu.” Kini aku memandangnya. “Yang kubutuhkan tak banyak. Aku hanya mau kau ada. Dan aku percaya kau akan selalu ada. Maka jika boleh kuminta, di hariku nanti, tanggalkan semua kesibukanmu. Hadirlah untukku. Berdansalah denganku di hari bahagiaku. Sekali ini saja. Demi aku. Demi seluruh waktu yang pernah kita lalui dan selamanya akan bersemayam dalam dada kita. Tak usah mengharapkan orang lain untuk paham. Karena itu akan sangat menyulitkan mereka. Aku menyayangimu dengan caraku. Dan hanya kamu yang tahu.”

“Ya, kurasa aku hanya tak siap kehilangan kau dan waktumu untukku.”, akhirnya dia bicara. “Jika ini membuatmu bahagia, bagaimana bisa aku tak mendukungmu? Aku akan datang, Vik. Untukmu! Kau mau hadiah apa dariku?”

“Datang saja. Itu hadiah terbaik untukku.”



*Ditulis untuk Seno Merah tersayang. Selamat ulang tahun, kesayanganku. Berlimpahlah berkah untukmu. Deraslah arus kebahagiaan dalam hidupmu. Dan jangan pernah meninggalkan langut-langutmu. Yang membawakan banyak tulisan, lukisan dan karya di usiamu. Sayang kamu kak, selalu dan selalu.

*Beberapa bagian dari tulisan di atas diambil dari blog www.senomerah.blogspot.com (Mari Tiup Lilinmu, Sayang & Masih Tentang Bertahan Hidup, Sayang)



Jogja, 6 Mei 2017



love, vie      

Senin, 03 April 2017

Jangan Pernah Kembali

Kau tahu apa yang kurindu;
Menantimu menyelesaikan cerita yang kau akhiri dengan senyum yang tak pernah gagal membuatku terpesona
Mendengarmu bercerita seperti menikmati kopi sore yang dibuat oleh barista terbaik di dunia
Menikmati sesap demi sesap dengan pelan yang lebih lambat dari kecepatan seorang anak yang belajar berjalan
Betapa tak ingin aku segera mencapai ujung cerita

Kau tahu apa yang kusuka;
Duduk di dekat jendela, bersamamu menikmati hujan di beranda Prada
Tak perlu bicara pun tak apa, wangi kopi dan bunyi mesinnya bahkan terasa nyaman di telinga
Hujan yang tak seberapa dan jantung yang berdetak ritmis mengikutinya
Sering kuminta ini bisa berlangsung selamanya

Kau tahu apa yang kupelihara;
Bermacam-macam warna yang ribuan banyaknya
Biru, merah, hijau bahkan jingga dan kawan-kawannya
Mereka yang menetap dan menjaga napasku dalam relung paru-paru
Dengan rasa yang tak ada perumpamaannya

Kau tahu apa yang membuatku tak bahagia;
Semua yang pernah kau katakan
Rasa yang pernah kau berikan
Ingatan yang pernah kau ciptakan
Yang melekat sempurna di dada dan kepala
Yang ingin kulupa namun memaksa tetap tinggal di sana
Dan aku sungguh tak punya daya untuk menyudahinya

Malam nanti
Saat telah lelap tidurmu
Rindu dan cintaku akan kuberi tahu
Kau tak lagi mencintaiku

Engkau yang pergi
Engkau yang tak lagi peduli
Jangan pernah kembali





Jogja, 4 Maret 2017
love, vie        

dedicated to Pintaka Yuwana a.k.a Mas Ko
owner of Prada Coffee Shop
Selamat ulang tahun, serta mulia dan bahagia
in good coffee we trust, in hand stand we crash! hahaha.. xxx

Kamis, 23 Maret 2017

Anugerahi Aku Lupa

Secangkir teh di mejaku


Sore yang abu-abu di tengah ketiadaanmu


Seucap kangen yang tak bisa kusampaikan padamu

Sedingin embun yang menggelayut di daun kecil di pinggir jendelaku

Sehangat air mata yang jatuh di pipi saat kuingat senyummu

Mataku memang tak setabah hatiku

Dia terlalu perasa saat kau hadir tiba-tiba merajalela di kepala

Bangku kosong di depanku mengingatkan pada jarak yang semakin sulit diukur di antara kabar yang semakin mengabur

Menghapus senyumku yang dulu meluluhkanmu katamu

Menggantinya dengan sesak tak terkira di dada

Isak yang begitu tangis

Perih yang mengalir lirih

Tak kan lagi kutanya kabarmu bagaimana

Katamu kau lebih bahagia bersamanya

Lalu alasan apa lagi yang membuatku tak rela?

Semoga Tuhan menganugerahiku lupa

Aku akan berpura-pura bahagia

Walau dunia tahu aku tak pandai melakukannya

Tapi biar kucoba, kau harus tahu aku tak pernah menyerah begitu saja

Bahkan dalam hal yang sama sekali aku tak bisa






Jogja, 24 Maret 2017
        love, vie        

Selasa, 14 Februari 2017

What If

HP ku berdering. Kulihat namanya di layarku, i swipe the screen and, "Hellooo,,". Sambil tersenyum yang sulit kugambarkan seperti apa manisnya.

"Hello gorgeous! How you doin' today?", katanya.

"Wonderful, since i catch your name in my phone couple sec ago", jawabku.

Kudengar dia menghela napas di seberang sana. "Kamu paling bisa urusan bikin orang salah tingkah ya.. So, jadi kita jumpa hari ini?"
"I don't have an option in my answear list for this question, yes dear.."

"See,,,??? I wonder who taught you this! Ok, sampai jumpa sore nanti. Semoga aku tahan untuk tetap bisa terlihat baik saat kau membuatku hampir gila seperti ini." Klik! Dia menutup telepon.

Aku mengenakan dress simple warna hijau, dan make up tipis dengan pewarna bibir pink muda. Duduk di meja barisan pinggir di cafe klasik yang memang tak pernah begitu ramai. Menunggunya.

Tak lama tiba-tiba saja dia sudah berdiri di sampingku, wangi sekali. Aku berdiri dengan canggung, berciuman pipi dengannya. Bisa kurasakan pipiku sedikit gatal saat menyentuh jambangnya. Aduh, laki-laki ini!
"Jadi, apa yang membuatmu tak punya pilihan jawaban lain selain menemuiku? Sebegitu rindu kau padaku?", katanya mengolok.

"Well, kau sendiri yang mengatakan, jika sudah tak tahan, silahkan lambaikan tangan ke kamera, bukan? Tapi kupilih melambaikan tangan padamu dan berciuman pipi seperti tadi untuk kemudian bisa menatapmu seperti ini."

Sukses! Mukanya memerah dan sedikit tampak kesal.

"Tak bisa kah kau tak membuatku salah tingkah seperti ini, sebentar saja?"

Dia diam sejenak, menatapku, kemudian berkata, "Aku rindu, sungguh rindu."

Aku tersenyum saja, menatapnya, "Aku tahu. Kau terganggu dengan itu?"

"Kamu itu candu. Pergi ke pusat rehabilitasi pun aku tak akan sembuh jika tak menemuimu."

Dia menghela napas, sambil meraih sebatang rokok dan menyalakannya. Menghembus-hembuskan asapnya ke atas agar tak mengenai wajahku. Kemudian seorang barista mendatangi kami sambil membawakan menu.

“Hot coffee latte, please”, kataku kemudian tanpa melihat ke buku menu
“Hot tea, English Breakfast please”, katanya menyusul dan barista itu tersenyum sambil segera meninggalkan kami.

Aku duduk bersandar memandangnya. Dia melipat kedua tangannya di pinggir meja di hadapanku sambil menatapku. Kuayunkan sedikit daguku ke depan, seolah bertanya “what?”, tanpa kata, menantang dengan cara yang manis. Aku tahu dia pasti paham dan kemudian menggeleng sedikit sambil menjawab, “Entahlah. Ini sebuah pertanyaan yang sulit. Aku tak tahu apakah memang pesonamu yang sebesar itu, atau alam semesta ini yang terlalu lemah dan tak tahan untuk tak terpesona.”

Aku tersenyum mendengarnya, kali ini dengan jajaran gigiku terlihat karena mulutku yang sedikit terbuka, senang mendengarnya, namun tak juga berkata-kata.

“Kau makan apa siang tadi?”, lanjutnya.
“Kenapa?”
“Kau begitu menyebalkan hari ini. Mungkin saja ada yang salah dengan pilihan makan siangmu tadi.”, jawabnya kesal.

Aku tak bisa menahan tawaku yang bersuara sedikit keras namun segera tersadar dan menutup mulutku dengan kedua tanganku. “Ups, maaf.”, kataku sambil nyengir.

Dia meneguhkan dengan mengacungkan telapak tangan kanannya yang terbuka di depan kami sambil berkata, “See..?”, kemudian membuang muka kesal ke arah jendela.

Aku tak segera menanggapi. Masih juga bersandar dengan senyum menampakkan gigi. Tanpa suara. Menikmati saja kekesalan di wajahnya. Hingga akhirnya pesanan kami datang, kuucapkan terima kasih pada si barista yang segera berlalu setelahnya.

“Kau tahu? Aku selalu merasa kesal jika kopiku disajikan dengan latte art di atasnya seperti ini!”, kataku akhirnya menyudahi diamku.

“Kenapa? Bukankah itu salah satu bentuk karya seni dari sebuah minuman yang memang sangat kau suka? Kopi!”

“Aku memang menyukai kopi. Tapi benci setengah mati jika harus merusak latte art yang sudah dibuat dengan susah payah oleh mereka ini. Kan tak mungkin kopi ini kuminum tanpa harus mengaduknya terlebih dulu.”

“Hmmm… Kamu bisa sentimentil juga rupanya. Yasudah, tak usah kau aduk dan kau minum. Biarkan saja kopi itu tetap di situ dan bayangkan saja rasanya. Selesai perkara.”, jawabnya puas mendapatkan celah untuk mengolokku lagi.

Aku diam sejenak untuk memberinya kesempatan menikmati kemenangan. Kemudian berkata, “Mmmm.. itu sama saja dengan menyuruhku tak memikirkanmu sejenak saja di hari-hariku. Tak mungkin mampu aku melakukan itu.”, sambil tersenyum tipis menatapnya. Skakmat! Aku tahu dia tak siap dengan jawabanku, namun berusaha untuk bersikap biasa.

“Kurasa entah sarapan atau makan siangmu tadi pasti mengandung vitamin dengan dosis tinggi sekali. Sesekali makanlah makanan rendah gizi, cerdasmu kelewatan!”, jawabnya kembali kesal dan membuatku tertawa karenanya.

Aku menatapnya diam. Kasihan juga lama-lama padanya.

“Maafkan, aku hanya tak pandai menyampaikan apa yang kurasa dengan cara yang baik seperti caramu menyampaikan yang kau rasa.”, kataku kemudian

Dia menatapku dan menghela napas. Masih bisa kulihat rindu yang disampaikannya di awal perjumpaan tadi di antara sisa kekesalan pada apa yang sejak tadi kulakukan. Kami saling tatap dalam diam. Dan ternyata aku tak mampu melakukannya lebih lama. Kuambil sesendok kecil gula dan mengaduknya rata dalam cangkir keramik berwarna merah menyala yang sejak tadi kudiamkan saja. Meminum kopiku dan membuang pandangan jauh ke luar jendela.

“What if…”, kata-katanya menggantung. Aku kembali memandangnya, menantinya menyelesaikan kalimat.

“You can never see me again?”

Aku hampir tersedak mendengar lanjutan kalimatnya. “Why?”

“I ask you first, and ‘why’ is not an aswear but a question dear, please..”

Aku kebingungan dan hampir tak menemukan jawabannya. “Well, there must be a good reason if it’s happened. And so far I didn’t see any good reason to stop seeing you, why can’t I see you then?, kataku akhirnya.

Dia terdiam sejenak dan melajutkan berkata, “I’m leaving abroad, soon..”

Aku terhenyak ke sandaran kursiku. Banyak hal berkecamuk di kepalaku saat ini. “Ya..? What for?”

“I got a new assignment, they have to put me in our new office in London.”, jawabnya sambil terus memandangku dengan mata sayu.

“Wow, congratulation! It’s a good news, right?”, jawabku mencoba menutupi keterkejutan yang kuyakin gagal setelah mendengar perkataannya kemudian, “Is it?”

Aku terdiam, kembali dibuatnya bingung dengan pertanyaan.

“For how long you’ll stay there?

“So long, dear. So long that I can’t tell you until when.”

“Well, ummm…”, aku kehabisan kata-kata. “You still can visit me sometime, or maybe I can go there to visit you someday.”, sambil mendekatkan tubuhku ke arah meja, ke arahnya. Kami berbicara cukup dekat sekarang tak lagi bersandar. Sama-sama melipat tangan di atas meja yang hanya berukuran 60 x 60 centimeter.

Dia tersenyum yang dipaksakan dan berkata, “Ya, walau tak semudah mengatakannya”. Flat.

Aku diam. Dia pun diam. Aku menunduk memainkan jemariku. Dia memandang jauh ke luar jendela entah ke arah mana. Kupandangi latte ku yang mulai dingin dan tak lagi ada bentuk hati di atasnya. Rusak terkoyak sesendok gula yang kuaduk ke dalamnya. Ada rasa menyesal di dada. Mestinya aku tak perlu lagi menambahkan gula untuk secangkir kopi yang memang sudah enak rasanya. Kuingat kau pernah berkata, bahwa kadang untuk beberapa hal yang memang diciptakan dengan rasa pahit sebaiknya biarkan tetap pahit, karena menambahkan pemanis pasti akan mengurangi nikmatnya. Sesekali kita harus belajar menerima kenyataan. Menerimanya saja dan menikmati pahitnya. Tak perlu melakukan perlawanan. Untuk beberapa hal, melawan hanya akan membuat kita lebih terpuruk dan itu pasti menyakitkan.

Hari ini, kita dihadapkan pada sebuah keadaan yang tak mungkin kita lawan. Perpisahan memang tak pernah menyenangkan. Aku sengaja mengambil cuti agar bisa mengantarmu. Inginnya sampai depan pintu garbarata. Namun sampai pintu masuk bandara pun tak apa lah. Bahkan keinginan-keinginan yang ada harus rela dikalahkan dengan keadaan dan kita hanya bisa menerima saja. Kau genggam tanganku dan memandangku saja dalam diam. Hampir satu menit lamanya.

“Promise me one thing.”, katanya.

“What?”

“Send me picture, voice note, text and anything about you. Just as often as possible. Please …”

Aku tersenyum mendengarnya. “What if I refuse to do that?”, jawabku dengan senyum menggodanya.

“How could you do that? Even in this wee little time you still try to harassed me?”

“Nooo.. don’t get me wrong. It’s just my way to ask, will you miss me that much?”

“What makes you think I won’t?”, jawabnya sedikit bersungut.

Aku tersenyum tenang memandangnya. Sambil menggeleng dan berkata, “I know exactly you will. It’s just … I have no idea until when will you have that feeling for me. And what if you don’t miss me anymore?”

Dia tak menjawab namun segera memelukku. Erat sekali. Tak pernah kami berpelukan seperti ini. Biasanya hanya bercium pipi saja saat bertemu dan berpisah.

“Please, don’t ever think like that. It really broke my heart.”, bisiknya padaku.

Aku menghela napas, sambil mengelus punggungnya dan berkata, “Mmmhhh.. I’m so sorry. I’m just trying to be realistic, darling. Never have in mind to break your heart. Never.”

Dia melepaskan pelukannya. “So, please say yes.”, katanya sambil memandangku.

“I will, sir!”, jawabku dengan sikap hormat kepada seorang komandan.

Dia tersenyum bahagia. “See you when I see you, gorgeous!”, sambil mencium pipi kiriku kemudian mencubit kecil ujung hidungku.

“See you when you see me, bad boy!”, jawabku tersenyum.

Dia melangkah masuk ke dalam bandara setelah memperlihatkan boarding pass yang sudah dicetak beberapa jam sebelumnya. Menengok sekali kepadaku dan melambaikan tangannya serta memberi kecupan jauh dari bibirnya. Ada rasa kehilangan yang tiba-tiba mengalir deras di dada. Senyumku memudar perlahan dengan kedatangannya. Seperti terlempar jauh ke ruang hampa udara yang tak kuketahui jalan keluarnya.

HP ku berdering, kulihat namamu di sana.

“Miss me already?”, jawabku ceria penuh semangat seperti orang yang baru kesulitan bernapas dan mendapatkan oksigen yang berlimpah banyaknya.

“I do …”, jawabnya dengan nada penuh duka.

“What if, I give you my smile, are you gonna stay for a while?”, kunyanyikan lirik lagu milik Mocca, mencoba menghiburnya.


“I’ll stay forever!”




Jogja, February 14th 2016
love, vie             

        

Sabtu, 04 Februari 2017

Jatuh Cintaku Yang Tak Kau Tahu, Atau Kau Yang Memang Tak Mau Tahu

Demi binar itu, aku rela menelan saja lanjutan kata yang sudah ada di ujung lidah
Menunggumu menyelesaikan senyum
Dan menanti kejap di matamu yang bintang mana pun tak sanggup menandingi
Hampir saja kulupa cara bernapas karenanya

Menyimakmu berbicara seperti hujan yang berderai pelan dengan jeda ritmis sesorean
Membaur sempurna dengan wangi tanah yang basah
Yang memaksa banyak makhluk untuk berhenti ber-apa saja dan pasrah menikmatinya
Bahkan terlalu sayang rasanya melewatkan satu kata saja dari cara bicaramu yang begitu mempesona

Demi helai rambut yang jatuh di wajahmu saat kumenatapmu
Aku rela menunda meminum teh yang sudah kugenggam cangkirnya
Menantimu menyibakkan rambut ke belakang kepala
Dan melihat mereka kembali jatuh tak beraturan begitu saja yang entah bagaimana tak juga membuatmu kesal karenanya

Mendengar gesekan nada dari biola yang kau alunkan di sesela kebersamaan kita
Seperti mengingat lagi sebuah masa yang sudah terlalu sulit kumengingatnya
Saat sepasang telinga yang tanpa sengaja mendengarnya, tak dapat melawan keinginan mata untuk memejam, dan tenggelam begitu khusyuknya
Bahkan senyum bahagia yang lama tak kujumpa hadir begitu saja tanpa harus kuminta

Tahukah kau, hampir setiap napas yang kuhela
Setiap kedipan kedua mata yang membuatku tetap terjaga
Bahkan setiap desir yang terjadi di dalam dada
Tak pernah sebegitu menyiksa di malam-malamku sebelumnya

Tapi aku begitu rela menjalaninya
Menjaga rasa yang ada tetap utuh di dalam sana
Merindukanmu hampir di setiap detik yang tega berlalu tanpa memberiku waktu sebentar saja untuk tak mengingatmu

Jatuh cintaku yang tak kau tahu, atau kau yang memang tak mau tahu?


Selasa, 24 Januari 2017

Chapter I

THE UNIVERSE CONSPIRES AGAINST ME

Kulihat dia mengemasi alat musiknya. Sebuah benda bersenar gesek yang sangat disayanginya. Tak seperti hari sebelumnya. Tak ada keceriaan di wajahnya malam ini, hanya dia berusaha tak menampakkannya.  Dia menghampiriku dan mengambil posisi duduk di kursi samping dari meja kami yang bujursangkar, bukan di depanku seperti biasanya.

“Kamu sudah makan?”, tanyanya.

“Sudah dong..”, jawabku penuh senyum memandangnya

“Ok, kita jalan sebentar lagi ya, aku pamit sebentar sama anak-anak.” 
Yang kujawab dengan anggukan  dan senyum yang belum berkurang. Kuperhatikan saja dia dari meja kami. Mengobrol dengan kawan-kawan bandnya yang selalu saja menggodanya dengan banyak hal. Tapi begitulah dia, tak pernah bisa marah pada mereka yang sangat sayang dan disayanginya sejak lama. Kulihat mereka tertawa begitu lepas dan bahagia.

Tak sampai lima menit dia kembali dan mengajakku pergi. "Aku pulang yaa, sampai jumpa.", kataku dari jauh pada teman-temannya yang dibalas dengan lambaian tangan ramah mereka.

Di mobil dia menyetir saja dan tak lagi banyak bicara seperti siang tadi.
"Are you ok?"

"Iya, kenapa?", jawabnya sambil membetulkan kacamata

"Tak apa, hanya kurasa kau lebih banyak diam malam ini, tak seperti siang tadi. Lelah kah?"

"Enggak...", jawabnya sambil senyum melihatku sebentar dan mengusap tangan kananku. "Keretamu jam 23 kan? Kita ngobrol di coffeeshop stasiun saja ya, supaya tak buru-buru." Dan aku hanya mengangguk penuh setuju dengan senyum di bibirku.

Setelah mencetak boarding pass, aku menyusulnya di coffeeshop kecil di bagian depan stasiun ini. Mendekatkan kursi dan duduk di sampingnya.

"Kenapa senyummu?", tanyaku.

"Kenapa senyumku?", dia balik bertanya.

"Tak apa, tapi kuhitung tak sebanyak kemarin dan siang tadi. Aku khawatir kau lupa membawanya malam ini.", jawabku tersenyum padanya.

Tak ada jawaban dan wajahnya kini jadi memuram. Dia memandangku diam, diam dan penuh kesedihan.
"Hei, kau kenapa? Ada yang salah dari yang kukatakan?", tanyaku kemudian.

Dia membuang napas berat dan akhirnya berkata, "Tak apa, hanya tetiba berat rasanya."

Aku menaikkan alis menunggu lanjutan kalimatnya. "Ya, entah kenapa tetiba seperti ini rasaku. Seperti tak yakin kapan lagi bisa menemuimu. Hmm.. Ah, ini salahku, tak seharusnya merasa seperti ini, bukan?", mengakhiri kalimatnya dengan kalimat tanya.

"Hmm.. Kau kenapa? Kau ingin aku tinggal lebih lama? Kau tahu kan, aku harus kembali ke sana?", jawabku tetap dengan senyum walau tak semanis sebelumnya.

"Ya, aku tahu. Maka kataku tak seharusnya aku merasa begitu. Hanya saja...", tak dilanjutkan kalimatnya dan membuang muka ke arah lain.

Kucari wajahnya, menariknya ke arahku dan berkata, "Sayang, cemburu kah yang kulihat di matamu itu?". Kupandang dalam matanya, dia terdiam saja, ada sedih yang menggenang di sana. “Seingatku baru kemarin kau katakan kita harus sadar dengan kondisi kita bukan? Dan setengah mati aku menipiskan rasa yang ada sebelumnya, bahkan sempat berpikir untuk menyudahinya. Karena tak baik rasanya menyakiti hati sendiri. Lalu sekarang kau bersikap begini.”, lanjutku pelan dan penuh kehati-hatian. Sungguh tak ingin menyakiti laki-laki yang begitu kusayangi.

Dia mengeluarkan sebatang rokok milikku dan mulai menyalakannya. Menghembuskan asap yang berat dan mulai berkata, “Aku orang yang sangat realistis, kau tahu itu. Maka kukatakan hal itu siang lalu, hanya mencoba tetap menjaga kesadaran kita pada euphoria yang ada di depan mata. Tapi ini apa, aku bahkan tak dapat mengenali perasaanku sendiri. Ya, ini salahku memang, laki-laki tak seharusnya begini.”

“Aku mengajakmu bicara begini bukan untuk mencari siapa yang salah. Please, kita sudah sama-sama dewasa. Tak pantas rasanya berbicara hanya untuk mencari-cari salah siapa. Coba katakan padaku, seperti apa rasamu. Kecuali kau memang tak ingin aku tahu.”

Dia memandang dalam ke mataku, ada sayang yang dirundung sedih di sana, “I love you.”, sambil menggenggam tanganku kemudian menunduk tanpa melepaskannya.

Aku diam, tak tahu harus berkata apa. Mungkin begitu pun dia. Tetiba sesak rasa dada ini. Dinginnya udara seperti tak lagi ada artinya saat kudengar kata-katanya. Ada yang hancur lebih dalam lagi ketika mata kami beradu. Sayang yang begitu sulit digambarkan. Rindu yang entah bagaimana harus diselesaikan.

“Sayangku..”, kusentuh lembut pipi kirinya dengan tangan kananku. Dia memberiku senyum yang jika kau lihat kau akan tahu betapa dia tak ingin aku merasakan sakitnya.

“Apa menurutmu ini begitu mudah bagiku? Jika kau melihatku baik-baik saja dan tampak bahagia nantinya di sana, percayalah aku orang yang pantas mendapatkan piala Oscar setelah Marlon Brando dan Alpacino. Bahwa yang kau rasa sudah lebih dulu kupunya. Bahwa kisah kita tak mungkin kubagi dan aku harus menguatkan hati menyimpannya sendiri.”, lanjutku.

“Baru kemarin kau katakan padaku bahwa kita harus bahagia. Aku bahkan sempat percaya bahwa kau memang tak memiliki rasa yang kurasa. Sempat berpikir untuk menghapusnya saja supaya bisa merasakan bahagia yang kau sebutkan. Karena aku selalu siap menghadapi apa pun, hanya tak punya cukup waktu untuk rasa sakitnya.”

Dia diam saja mendengarkanku berbicara. Ada genangan tipis di sudut mataku yang kutahan sebisa mungkin agar tak mengajak kawan-kawannya. Tapi kemudian naluri laki-lakinya terbangunkan. Dibangunkannya tubuhku dan dipeluknya erat sekali. Sambil berkata di samping kepala, “Kau tahu kunci dari bahagia? Sungguh hanya sesimpel memiliki kesehatan yang baik dan ingatan yang buruk. Tapi kau, kau adalah satu-satunya hal di ingatanku yang aku tak pernah ingin lupa. Dan aku sungguh rela merasakan setengah bahagia saja.”

Tetiba dia menyanyikan Glow milik Frau, suaranya yang merdu mengalun lirih di telingaku, sambil memeluk dan mengayun tubuhku pelan sekali.

Hold me, you shall never ever see me
Blankets will not hesitate me
Flowers shant even wake
Kiss me, this the last time you may see me
This the last time light shall harm me
I shall cry myself to death
Funny, how you never showed your love to me
Lovely, oh the lights I can see
It’s gleaming in my eyes like when you
Burned me, tear my skin off and leave me
This the last time you may hold me
This the last time I shall say good bye

Aku menangis begitu saja di peluknya. Luruh sudah semua ketegaran yang kupunya. The universe conspires against me.


Jogja, 24 Januari 2017




catatan kaki:
lirik lagu Glow by Frau
pict by Google