Sejak
pukul 19.00 Kedai Kebun Forum sudah mulai ramai. Selain karena waktu itu malam
minggu, sebagian lainnya memang datang secara khusus untuk menghadiri undangan
terbuka untuk acara yang kami selenggarakan. Dengan persiapan yang cukup mepet,
dua bulan untuk mempersiapkan launching buku bukanlah waktu yang ideal untuk
mencetak buku dan meluncurkannya. Sebelumnya perlu saya sampaikan bahwa tulisan
ini adalah draft yang berusia hampir satu tahun dan mangkrak kala itu karena
satu dan lain hal, maka isi dari tulisan di bawah ini sengaja tidak saya edit
lagi supaya euforia yang berdebar di dada kami kala itu dapat tetap terasa
ketika kalian membacanya. Salam.
Tentang Syak Merah Jambu dan Pasukan Berani Nganu di Balik
Launching Buku
Hari
ini tepat dua minggu lalu, buku pertama kami yang kami panggil dengan sebutan
“anak-anak rindu” resmi dilaunching di Kedai Kebun Forum, Yogyakarta. Kami
menagguhkan namanya dalam kearsipan secara resmi dengan nama, “Syak Merah
Jambu, Catatan Para Perawat Ingatan”. Setelah melalui beberapa kali
pertimbangan dan memutuskan nama inilah yang paling manis untuk anak pertama
kami.
Singkat
cerita, kami bertujuh yang bermula dari sama-sama punya kegemaran menulis, baru
menyadari bahwa kegiatan menulis yang kami lakukan bersama-sama ini telah
hampir berusia satu tahun di bulan Desember 2017 lalu. Tepatnya satu tahun di
tanggal 28 Februari 2018. Dari situlah mulai muncul “andai-andai”, bagaimana
jika kita membukukan tulisan kita selama satu tahun ini? Maka terbakarlah dada
saya menerima ide ini. Saya mulai bertanya kesana-kemaari tentang seluk beluk
menerbitkan buku. Beruntung di Jogja ini, jumlah orang baik dan baik sekali
masih banyak, dan kawan-kawan saya yang luar biasa itu mulai membantu dengan
melakukan ini itu untuk terwujudnya Syak Merah Jambu.
Saya
tak akan menceritakan detail perjalanan terwujudnya Syak Merah Jambu, karena
akan bisa jadi cerpen sendiri jika saya melakukannya. Bukan kenapa-kenapa, tapi
terlalu banyak “drama” yang tentu saja khas dengan cerita-cerita yang sering
dituliskan NDC. Tak hanya akan membuatmu ingin menangis, tapi juga tertawa,
bahkan mengumpat saya nantinya. Walau saya sama sekali tak keberatan kalian
melakukannya, tapi kutahan saja tak menceritakannya. Agar kalian bisa belajar
menahan rasa ingin tahu kalian, dan belajar bersabar karena bukan tak mungkin kami
akan menceritakannya nanti saat ada kesempatan NDC berkumpul lagi dan melakukan
pentas pembacaan karya (lagi) di kota-kota lainnya. Tolong aminkan bagian ini,
tolong ini tujuan mulia lhoo! (maaf, nyebut merk tegel di sini walau mereka
sama sekali tak mensponsori)
Saya
akan menceritakan orang-orang luar biasa yang ada di balik buku ini saja. Dan
saya akan memulainya dengan Alfin Rizal dan Al Farisi. Alfin adalah seorang
muda, penulis buku kumcer Lelaku dan kumpulan puisi Kesengsem. Dialah yang
membuat cover buku SMJ. Sedang Farisi, seorang muda asal Sumenep yang sedang
menjalani kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pembaca buku yang tekun,
yang membuatnya sangat berkompeten untuk membuat layout buku. Mereka berdua
sempat tidak tidur selama 2 malam demi melakukan editing SMJ agar bisa segera
naik cetak. Saat itu sudah kurang satu minggu dari jadwal launching yang sudah
kami tetapkan. Alfin bahkan sempat meminta langsung kepada saya untuk menunda
acara launching selama satu minggu ke belakang. Tapi saya memaksa dan terpaksa
mengatakan tak bisa, karena kawan-kawan dari luar kota sudah mengambil cuti di
tanggal tersebut dan poster KKF yang sudah beredar kemana-mana. Maka “pasukan
berani tak mandi” ini meneguhkan tekad dan hanya meminta kami sama-sama tak tidur
di malam mereka mengerjakan editing buku, karena anggota NDC ini sangat pantas
diberi julukan “komunitas typo garis keras”.
Maka
tak tidurlah kami di malam itu. Dengan tetap aktif di group whatsapp untuk
menyemangati mereka berdua. Walau saya jadi sangsi saat itu, karena bagaimana
mereka bisa bekerja jika terus menerus aktif berbalas pesan WA??? Tapi kami tak
kalah cerdik, membagi shift untuk tidur karena kami bertujuh itu lebih
meringankan buat kami. Sedangkan Alfin dan Farisi harus menerima ini dengan
(mungkin) berat hati, hahaha. Keesokan harinya, pukul 10 pagi mereka masih
update foto di group. Wajah-wajah lelah mereka dan posisi Farisi yang sudah
mulai berbaring di beranda sebuah tempat ngopi 24 jam di Jogja, bersiap untuk
tidur. Sungguh tak tega sebetulnya. Dan saya hanya bisa berkali-kali
mengingatkan mereka untuk minum air putih yang banyak, jangan kopi lagi. Saya
tak mampu jika harus bertanggungjawab atas kesehatan 2 orang tuna kekasih ini.
Tak bisa membayangkan mereka jatuh sakit saat tak ada kekasih yang bisa membuat
mereka minimal merasa sedikit lebih baik dengan keberadaannya. Oh maaf, Alfin
punya pacar, tapi jauh tinggalnya, jadi ya anggap saja tetap sulit merasakan
kasih sayangnya secara riil. [pardon my language]
Siang
harinya di tengah kesibukan saya berperan sebagai ibu, saya terus melakukan
cross check pada Alfin apakah naskah kami sudah masuk ke percetakan atau belum.
Dan alhamdulillah, tepat smenjelang maghrib Alfin mengabari saya bahwa naskah
sudah masuk dan akan segera menjalani proses pencetakan. Bentuk terima kasih
seperti apa lagi yang harus saya berikan kepada mereka berdua yang luar biasa.
Lemah teles yo cah, Gusti Alloh sik mbales.
Sudah
hampir satu setengah halaman saya menuliskan kisah ini dan ini baru mencapai
sedikit bagian dari yang ingin saya ceritakan. Selanjutnya saya akan
menceritakan bagaimana pengorbanan dan drama semua personil NDC untuk persiapan
pementasan di launching acara buku kami. NDC yang beranggotakan 6 orang
perempuan dan 1 orang laki-laki tulen yang mengaku konsisten mencintai
perempuan. Memang kebetulan anak-anak ini hampir semuanya belum punya
pengalaman membacakan karya, entah itu puisi, cerpen, prosa atau apapun. Dan
saya mau tak mau harus lebih giat meracuni mereka agar yakin bahwa mereka mampu
melakukannya. Toh yang akan mereka bacakan adalah karya-karya mereka sendiri.
Yang semestinya mereka tahu betul “feel” dari tulisan tersebut karenanya. Jadi
tak akan banyak menemui kendala dalam membacakannya kepada khalayak.
Singkat
cerita, saya meminta romo Nasarius Sudaryono yang seorang penggiat pertunjukan
dan sudah sering melakukan reading bersama saya dalam beberapa produksi film
indie sebelum ini, untuk membimbing teman-teman NDC belajar membaca. Saya
buatkan satu group wa lagi yang khusus untuk kami dan Romo melakukan komunikasi
jarak jauh, karena hingga tulisan ini diturunkan hal ini masih belum
memungkinkan untuk dilakukan melalui telepati. Saya meminta kawan-kawan untuk
mengrimkan voice note latihan pembacaan mereka di sini. Dan itulah luar
biasanya Romo, yang walau (mungkin) sakit telinga mendengar cara kami membaca
tapi tetap memberikan masukan berupa sanjungan yang membuat kami semakin pede
dan terus memperbaiki bacaan kami.
Hingga
tanggal 9 Maret 2018, kawan-kawan dari luar kota seperti Kediri, Semarang,
Sidoarjo, Malang dan Jakarta mulai berdatangan. Mereka saya paksa untuk tak
usah mencari kamar hotel dan tidur di rumah saya. Sebelumnya saya sudah meminta
izin ke mereka karena di tanggal 9 ada pekerjaan, jadi saya serahkan kunci
rumah pada mereka agar mereka bisa memaksimalkan latihan di rumah saya bersama
Romo selama saya bekerja. Selesai kerja saya langsung pulang karena tak enak
sudah memohon-mohon pada Romo untuk menunggu saya sebentar agar saya bisa
melakukan latihan secara riil seperti yang lain. Jam 11 malam saya sampai
rumah, dan dengan sisa-sisa tenaga yang masih saya punya, saya membacakan karya
yang akan saya bacakan keesokan harinya, satu kali saja. Dikoreksi di beberapa
bagian oleh Romo dan baru bisa mengobrol enak dengan semuanya setelahnya.
Sepeninggalan
Romo, kami tak juga berangkat tidur walau lelah menumpuk sejak pagi belum
rebah. Perempuan-perempuan luar biasa tamu saya ini masih saja “iyik” dengan
pertimbangan “BESOK PAKAI BAJU APA???” yasalam. Akhirnya dikeluarkannya semua
baju yang rencananya mereka kenakan di acara besok. Walau akhirnya hampir semua
yang mereka bawa tak terpakai dan saya memberikan alternatif lainnya untuk
mereka. Dan mereka bahagia. Lalu kami pergi tidur saat adzan subuh hampir
berkumandang. (bagian terakhir ini sungguh salah, mohon jangan ditiru ya
teman-teman)
Sabtu
pagi pukul 7.30 (hampir) semuanya sudah bangun. Saya segera bersiap pergi
karena harus melaksanakan tugas sebagai ibu dulu pada anak saya yang kebetulan
hari itu ada GR untuk lomba drumband. Saya pasrahkan semua persiapan di lokasi
pementasan pada 6 orang anggota NDC yang lain dan baru bisa bergabung lagi
dengan mereka sore harinya. Entah tuan rumah macam apa saya ini. Tapi
alhamdulillah mereka adalah kawan-kawan yang luar biasa dan hanya dengan komunikasi
dengan hp saja mereka bisa menyelesaikan semuanya.
Sabtu,
10 Maret 2018 pukul 16.25
Setelah
berjuang menembus kemacetan Jogja di Sabtu sore, saya berhasil sampai di KKF
dengan sedikit lelah dan banyak ngos-ngosan. Tak enak rasanya pada kawan-kawan
saya karena jam segitu saya baru bisa berkumpul lagi dengan mereka. Kami mulai
makeup bersama-sama dan saling membantu satu sama lain. Mereka yang ribut
dengan pemakaian bulu mata palsu sungguh menjadi hiburan bagi saya yang sedikit
kelelahan. Sambil makeup saya menyempatkan mengobrol dengan Mia (MC cantik
untuk acara kami) untuk membahas rundown acara secara lebih detail. Memberikan
alternatif kata-kata yang bisa dia pakai untuk membuka dan menjelaskan tentang
semuanya pada hadirin malam nanti.
Sabtu,
10 Maret 2018 pukul 18.00
Dari
tujuh orang personil NDC cuma saya yang memutuskan untuk tidak mandi sebelum
acara sore itu. Mohon maaf sebelumnya, karena saya tak menyiapkan peralatan
mandi yang biasa saya gunakan. Dan ini hal remeh yang sungguh sulit untuk saya
lakukan. Masing-masing dari kami mulai disibukkan dengan persiapan acara.
Beberapa tamu yang merupakan kawan dekat kami mulai berdatangan. Sepertinya
memang sengaja datang lebih awal agar bisa mengobrol dulu barang sebentar
sebelum acara dimulai.
Saya
mengobrol dengan mas Doni yang saya minta mengiringi pembacaan saya dengan
permainan biolanya. Karena kesibukannya yang luar biasa dan kesibukan saya yang
biasa-biasa saja tapi sering agak tak kira-kira maka kami baru sempat membahas
ini beberapa jam sebelum acara. Sungguh jangan ditiru jika orang yang kalian
pasrahi tak benar-benar seorang profesional dalam hal ini. Dan mas Doni ini
adalah salah satu orang yang saya jelaskan lima menit saja sudah bisa
mengaplikasikan apa yang saya minta. Terima kasih saya tak terhingga untuknya.
Sabtu,
10 Maret 2018 pukul 19.50
10
menit sebelum acara dimulai saya mengumpulkan semua teman-teman NDC dan pengisi
acara. Saya memberikan beberapa kata penyemangat untuk mereka yang sebenarnya
sudah sangat siap dengan materi yang akan mereka tampilkan. Karena Romo Nasar
sempat mengabari tidak bisa hadir di acara kam,i membuat kami sungguh bersedih,
tapi kami tetap harus melakukan yang terbaik untuk ini. Saya memimpin doa
bersama dan melakukan “toss” bersama sebagai penutup. Betapa bahagia saya
melihat kobaran api semangat di mata mereka. Dan entah kenapa saya yakin acara
akan berjalan sesuai dengan yang sudah kami rencanakan.
Tepat
pukul 20.00 mba Susi membuka acara dengan pembacaan puisi pendek miliknya
sambil berjalan tenang dari belakang ke arah depan penonton. Koordinasi lampu
dari gelap menuju terang membuat opening acara jadi cukup dramatis dengan puisi
yang dibacakan oleh mba Susi. Penonton yang tenang sekali sejak awal pun
bertepuk tangan tepat saat mba Susi selesai membacakan puisi dan disambut oleh
MC cantik kami Mia dengan openingnya.
Ada
yang bergetar di dada saya sejak tepuk tangan pertama. Mempertegas keyakinan
akan acara yang akan berjalan lancar hingga akhir nanti. Acara dilanjutkan
dengan bedah buku yang diisi oleh Alfin Rizal dan Bernado Bjeben. Semua
berlangsung lancar, beberapa gangguan yang terjadi seperti mic yang tak nyala
pun jadi tak berarti melihat performa kawan-kawan dengan bacaannya yang luar
biasa.
Lalu
tiba-tiba ada seorang tamu yang datang di sekitar pukul 21.45. Romo Nasar reading coach yang kami sayangi datang!
Ini bahagia yang sempurna bagi kami bertujuh. Beliau memilih duduk di bagian
belakang sambil menikmati pertunjukan yang masih berlangsung, Dan karena saya
mendapat giliran terakhir membaca saya menemani Romo duduk di belakang
penonton. Saya yang tak sempat mengikuti proses latihan teman-teman dengan Romo
mendapatkan banyak kejutan dari pembacaan malam itu. Saya ceritakan ke Romo
betapa saya ternganga menyaksikan cara mba Geriel membaca. Terpana dengan logat anak-anak yang dimiliki mba Sitra tapi
tak mengurangi keindahan bacaannya. Termangu dengan bacaan mba Gusti Hasta.
Tertohok dengan bacaan mba Susi. Dan terdiam dalam senyum dengan bacaan mba
Irza. Semuanya luar biasa dan Romo senang sekali mendengarnya.
Hingga
tibalah giliran saya membaca. Saya membacakan tulisan saya di buku SMJ bab
Selingkuh: The Universe Conspires Against Me. Sejak pertama memutuskan akan
membaca tulisan itu hingga waktu pentas saya hanya berlatih sebanyak 2 kali. Itu
pun yang pertama tidak sampai selesai. Bukan karena malas atau tak ada waktu,
tapi sebanyak 2 kali itu pula saya tak mampu menahan air mata yang hampir jatuh
di tengah pembacaan. Itu saja.
Benar
saja, saat pementasan yang saya harapkan sejak awal hanyalah saya bisa mampu
menyelesaikan The Universe Conspires Against Me hingga sampai selesai. Entah kenapa
TUCA begitu menguras rasa ketika dibacakan, terutama bagi saya sendiri yang
menuliskannya. Ah, tapi mungkin memang dasar saya saja yang terlalu cengeng
sehingga begitu mudah menitikkan air mata hanya karena membaca. Anggap saja
begitu, karena kalau mau dibilang dalam, tulisan saya ini tak ada apa-apanya
jika dibandingkan tulisan teman-teman Dasters lainnya.
Akhirnya
setelah setengah mati menahan air mata yang menumpuk di pelupuk mata, saya
berhasil menyelesaikan membaca TUCA sampai tuntas. Sedikit terisak dan berhenti
di beberapa bagian pembacaan saya rasa tak begitu masalah tapi justru menjadi “jeda”
manis dalam pembacaan itu sendiri. mungkin lain waktu saya akan menuliskan
tentang bagaimana dan mengapa “jeda” itu perlu dalam sebuah pembacaan karya. Doakan
saja saya mampu menuliskannya. Bukan untuk mengajari tapi lebih untuk berbagi
bagi kawan-kawan yang memang menyukai membaca karya baik cerpen maupun puisi.
Dengan
selesainya pembacan dari saya maka selesai pula lah rangkaian acara peluncuran
buku Syak Merah Jambu. Endro Gusmoro yang jadi satu-satunya anggota NDC
laki-laki tidak ikut membaca karena merasa belum siap dan berjanji akan ikut
membaca di lain waktu. Dia sudah menepati janjinya di acara Malam Minggu Merah
Jambu, Menyeduh Cinta Tanpa Gula yang kami selenggarakan di Kediri 24 November
2018 lalu.
Terima
kasih tak terhingga kami ucapkan kepada banyak pihak yang telah membantu
terselenggaranya peluncuran buku SMJ. Alfin Rizal, Bernado J Sujibto, Al
Farisi, room Nasarius Sudaryono, Yopie Kurniawan, Kedai Kebun Forum dan masih
banyak lagi yang tak dapat kami sebutkan satu persatu. Masih banyak kekurangan
dalam buku SMJ. Kami mohon doanya awal 2019 ini akan lahir adik kandung dari
SMJ, semoga semua proses kelahirannya dilancarkan dan kami dimampukan berbagi
banyak hal yang tak kalah mendebarkan dalam buku kedua nanti.